oleh Abiyyi Yahya Hakim (Pramuka UGM)


Diskursus kepramukaan atau kepanduan sudah selesai dalam hal membicarakan nilai-nilai dan skema pendidikan. Ia punya satya (Scout Promise) dan dharma (Scout Law), ia punya metode kepramukaan (the Scout Method), dan tidak lupa prinsip dasar, sifat, asas, serta tujuan yang semuanya melengkapi bagaimana (organisasi) Gerakan Pramuka/WOSM berjalan. Juga bagaimana (pendidikan) kepramukaan/kepanduan dijalankan kepada para Pramuka atau pandu. Hal-hal (yang telah selesai) inilah yang bisa dijadikan dasar dan acuan ketika membicarakan ranah selanjutnya dalam kepramukaan.

Tujuan pendidikan kepramukaan sering disosialisasikan oleh Pusdiklatnas Gerakan Pramuka, yang mencakup karakter, kecakapan, dan kebangsaan. Cakupan ini telah menyeluruh sedari kesadaran akan karakter seorang Pramuka, kecakapan diri dan kepada lainnya, hingga setia kepada negara. Tiga poin tersebut serasa begitu sederhana yang kemudian ketika sampai pada upaya implementasi dapat terasa begitu kompleks. Hambatan dan tantangan tidak hanya ada pada pengonsep nilai, tetapi yang menjalankan di bawahnya.

Menjadi (keharusan) implementasi menyeluruh untuk menjadikan penyelenggaraan pendidikan kepramukaan ini sesuai dengan yang diharapkan. Apa yang diharapkan? Ya nilai-nilai itu, yang berusaha dijalankan dalam skema-skema pembinaan. Satya (janji) dan dharma (law/ketentuan) menyatu sebagai kode kehormatan, yang juga masuk dalam asas, metode, dan prinsip dasar kepramukaan. Jika sekadar nilai (value) dan hafalan, implementasi satya dharma tidak akan sampai jika pembina tidak menjadi teladan, membimbing, dan mendorong peserta didik untuk benar-benar menerapkannya.

 

Dari Lokal hingga Global
Memahami Pramuka sebagai gerakan global sekaligus lokal sebenarnya dapat dilakukan secara bersamaan. Bahwa kepramukaan dijalankan dari satuan terdepan berupa gugus depan, di mana peserta didik dikelompokkan menjadi barung, regu, sangga, atau reka; merupakan hasil globalisasi konsep kepanduan sejak seabad lalu yang telah menyebar ke hampir dua ratus negara. Pemahaman ini yang kemudian dapat menghasilkan alur berpikir yang tuntas untuk mengimplementasikan segala nilai-nilai dalam kepramukaan.

Refleksi terhadap seabad lebih gerakan kepanduan telah berjalan menghasilkan kesadaran bahwa tantangan pada masa itu, masa setelah itu, dan hari ini berbeda. Juga bahwa globalisasi tidak seluruhnya menghasilkan masyarakat dunia yang sama persis, menyisakan ruang unik pada konteks-konteks kelokalan dan nasional dalam implementasi pendidikan dan gerakan kepanduan. Artinya, pembinaan terhadap peserta didik (Pramuka) secara personal begitu penting untuk membentuknya menjadi pribadi yang berkarakter dan berkecakapan. Mengiringi hal itu, perlu disadari konteks hari ini dalam menjalani pembinaan.

Kesadaran mengenai hal ini begitu penting dan menjadi bahasan utama tulisan ini karena Pramuka tidak akan dapat berdampak jika ia berada di masa lalu, asyik sendiri, atau berada di ruang yang salah. Pertama, jika kita telah merasa Pramuka ditinggalkan oleh kaum muda, maka konten (pembinaan) yang ada bisa jadi salah, karena dengan subjek kaum muda, tidak boleh Pramuka ditinggalkan oleh kaum muda. Asas modern, manfaat, dan taat kode kehormatan sudah cukup menjelaskan.

Kemudian, Pramuka (masih) dikenal sebagai orang atau sekelompok orang yang suka berkemah dengan segala keasyikannya. Tetapi bicara dampak, apalah yang dirasakan masyarakat jika Pramuka berkemah di jambore dan raimuna lalu selesai? Perkemahan dan permainan dapat meningkatkan karakter seorang Pramuka, tetapi harus juga meningkatkan kesadaran akan dunia di luar bumi perkemahan. Terakhir, Pramuka harus dapat menempatkan posisi (berdampak), dan bergerak sesuai konteks yang ada (lokal, nasional, maupun global). Oleh karena itu Pramuka Istimewa sebagai selimut dapat begitu tepat jika diimplementasikan.

 

Pramuka Pemberi Makna
Bagian terakhir ini mungkin begitu erat dengan salah satu metode kepramukaan, yaitu kiasan dasar (symbolic framework). Segala kerangka kepramukaan memiliki alasan dan arti tersendiri, yang membuatnya memiliki makna. Tidaklah ada nama golongan Siaga, Penggalang, Penegak, dan Pandega, jika sebutan itu tidak memiliki latar belakang pemaknaan. Begitu juga selimut Pramuka Istimewa yang berusaha memberikan pemaknaan lebih pada Pramuka dan skema kepramukaan yang berada di DI Yogyakarta.

Namun, sekali lagi yang harus jadi pegangan—setelah kita membicarakan segala hal di atas— ialah, bahwa Pramuka jangan bermain di lingkungannya sendiri, kalau memang ingin disebut sebagai ‘kaum yang suka berkarya’. Atau, ‘creating a better world’ kata WOSM. Masyarakat tidak butuh paham makna gambar di TKU Pandega ketika melihat Pramuka, tetapi mereka merasakan makna dari Pramuka ketika mereka ditolong oleh seorang, maupun sekelompok Pramuka. Atau dalam konferensi perubahan iklim, tentu para pemimpin dunia tidak melihat berapa kali kita berkemah ketika mendengar suara para pandu untuk menyelamatkan bumi.

Pada akhirnya perbuatan seorang Pramuka bisa begitu berarti terhadap lingkungan terkecil di sekitarnya, maupun organisasi kepanduan ini bisa mengubah dunia (menjadi lebih baik) dengan pandu-pandu yang membantu menggerakkannya. Sebelum semua itu, nilai-nilai dan skema pembinaan harus ditanamkan dan diterapkan. Makna-makna dalam nilai diharapkan sampai pada masyarakat dan dunia dalam bentuk yang (mungkin) berbeda. Seperti halnya makna Pramuka/pandu di masa lalu tentu tidak mengurangi makna hari ini biarpun caranya berbeda.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.